Takdir Tak Pernah Berdusta

Malam bulan Agustus begitu terang, langit bertabur bintang menerawang. Begitu terang, sehingga Nadia yang duduk termenung memandangnya pun tersenyum bahagia. Tangannya menari di atas kertas. Puisi, itulah tarian tangannya. Ia kembali membayangkan pertemuannya dengan Alwan, anak seorang ustad yang telah menggetarkan hatinya. Kesal dan benci itulah perasaan yang tengah Nadia rasakan kini.

Tadi siang ketika Nadia dan Lia sedang berjalan kembali ke kelasnya tanpa sengaja mereka bertemu dengan Arif, ia menabrak Nadia. Sehingga buku yang dibawanya terjatuh. Nadia menatapnya dengan marah, bukan karena bukunya, melainkan karena Arif, Kemarin ia harus membuat dan menulis ulang dua kali tugas yang telah ia buat karena tugasnya dihilangkan oleh Arif, ia juga sering membuat dirinya dimarahi habis-habisan oleh kakeknya yang merupakan kyai di pondok pesantren itu. Ditambah dengan sikap Arif sebelumnya yang sering membuatnya marah dan hampir dikeluarkan dari pesantren. Nadia menariknya menuju ruang pengurus mading, Nadia ke sana karena ia merupakan pengurus mading, suasananya lengang hanya ada Ani yang mengamati Nadia dengan khawatir. Ia tahu Nadia akan melakukan apa. Lia berlari entah ke mana. Nadia mengepalkan tangannya hendak memukul Arif, ia sudah tak mampu bersabar lagi.

“Dia, jangan berkelahi!” Ani memegang tangan Nadia, mencoba melerai. Nadia dengan mudah melepaskannya. Nadia menjauh ketika sebuah tangan menariknya dengan kuat. Nadia melepaskannya, ia menatap orang yang menariknya itu dengan marah.
“Maaf Ukhti,” ucap lelaki berwajah tenang dan bermata elang itu. “Mungkin anda tidak akan dikeluarkan dari pesantren jika melakukannya, tapi saudara saya akan dikeluarkan jika anda memulainya” Alwan, ia melanjutkan. Nadia tidak menjawab, ia memikirkan perbuatannya.
“Ukhti berada di sini untuk memperbaiki sifat Ukhti bukan? Ayah Ukhti menitipkan Ukhti pada Kyai yang merupakan kakek Ukhti untuk alasan itu,” Alwan memandang Nadia yang tak mampu bicara, ia tersenyum. Selama ini Nadia mengira ia di pesantren hanya untuk mengenyam pendidikan.

Nadia kesal, berulang kali ia kalah ketika debat dengan Alwan. Mereka juga sering bersaing dalam hal prestasi dan bela diri. Imajinasinya terhenti ketika Lia memanggilnya.
“Dia jangan melamun, ayo sini!” ucap Lia meminta Nadia bergabung dengannya dan santri lain yang sedang membahas info terbaru.

Nadia tengah sibuk menekuni kertas ulangannya. Berulang kali ia menghapus tulisannya, namun ia tak kunjung puas dengan hasil jawaban yang ia peroleh. Ia memainkan penghapus yang ada di tangannya, ini merupakan kebiasaannya ketika sedang malas, ia lempar-lemparkan ke atas. Ia melempar terlalu jauh dan akhirnya terjatuh ke bawah meja guru. Ia panik, ia mencari penghapus lain di tasnya, tak ada. Label, juga tidak ditemukan. Ia tidak berani meminjam pada temannya karena pengawas ulangannya terkenal galak. Begitu soalnya selesai dijawab, Nadia memotong kertas di bukunya lalu menempelkannya di tulisan yang akan ia hapus di kertas ulangan itu.
“Selesai,” ucapnya lirih.

Diam-diam lelaki yang banyak dipuja santri putri itu sedari tadi mengamati tingkah Nadia. Alwan tersenyum melihatnya.

“Soalnya susah ya?” tanya Lia ketika ulangan telah selesai. Nadia tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Ukhti…” panggil seorang lelaki dari kejauhan.
“Ukhti,” kini suara itu semakin jelas, orang yang memanggil berada di belakang Nadia.
“Manggil kok nggak jelas, sebutin nama atau apa gitu,” ucap Nadia berkomentar.
Alwan tersenyum mendengar perkataan Nadia. “Ukhti… Nadia Nuril Anisa,” senyumnya masih bertengger di bibirnya. Nadia kaget, ia penasaran dengan orang yang memanggil nama lengkapnya, spontan matanya bertemu dengan Alwan, Nadia beristighfar dalam batinnya, ia segera menunduk.
Alwan menyerahkan sebuah penghapus, di atasnya terdapat nama Nadia.
“Makasih,” ucap Nadia, sebuah senyuman terlihat di bibir indahnya.

Akhir tahun ajaran, itu artinya Nadia dan santri lainnya akan meninggalkan pesantren yang sangat mereka cintai itu.
“Kita tidak akan berdebat lagi Alwan” gumam Nadia dalam hati. Ia memang membenci lelaki pujaan para santri itu, namun dalam hatinya yang paling dalam terdapat namanya, “Muhammad Alwan”.


Nadia dan Lia akan pergi dari kamarnya ketika sebuah surat menghalangi jalannya. Lia mengambilnya.
“Untuk Nadia,” Lia membacanya, lalu menyerahkannya pada Nadia. “Mungkin dari penggemar rahasiamu,” lanjutnya, Lia tersenyum mengatakannya. Nadia tidak menggubrisnya, ia membuka surat yang ternyata dari Alwan itu, Nadia tersenyum. Lia mendekat ingin membacanya, Nadia menjauh, meninggalkan Lia yang kepo. Tulisannya begitu indah, surat itu singkat, isinya adalah,

Untuk Nadia,
Seperti, helaan nafas yang kurasa namun tak dapat kusentuh
Seperti waktu yang berlalu tanpa berkata
Seperti awan yang menangis tanpa pernah bersuara.
Seperti itu, lukisan hati yang tersimpan namun ada.
Rasa yang tak dapat terucap dalam kata.

Yang menunggumu,
Muhammad Alwan


Nadia tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Seseorang yang selama ini mengajarinya tentang kehidupan ternyata memberikan hatinya juga. Lia merebut surat itu, ia membacanya dan tersenyum. “Kamu harus membalasnya!” ujarnya girang.

Akhirnya Nadia memutuskan untuk membalas suratnya siang itu. Ia mengirimkannya lewat Lia